Mesir Berdarah, Rezim Mubarak Dipaksa Bubar
RMOL.Rezim Hosnu Mubarak yang zalim jadi alasan utama demonstran melancarkan revolusi jalanan. Gerakan massa di Kairo juga mirip aksi di Tunisia yang sukses menggulingkan presidennya. Kairo bakal berdarah-darah layaknya Tunisia.
Unjuk rasa besar-besaran mulai Selasa (25/1) sampai Rabu (26/1) dilakukan serempak di sejumlah kota di Mesir. Pihak keamanan kelelahan dan kewalahan berjibaku dalam demonstrasi terbesar Mesir beberapa tahun terakhir. Kemarahan rakyat bisa dimengerti karena rezim otoriter Presiden Hosni Mubarak tidak mampu menyelesaikan krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam demonstrasi kemarin, sedikitnya dua demonstran dan seorang polisi tewas setelah terlibat baku hantam. “Turunkan Hosni Mubarak, turunkan sang tiran. Kami tidak menginginkan engkau!” teriak para demonstran di Kairo, ibukota Mesir.
Demonstrasi massal di Mesir itu terinspirasi oleh gerakan massa di Tunisia beberapa pekan sebelumnya. Didera masalah serupa, yaitu mahalnya harga kebutuhan pokok dan tingginya tingkat pengangguran, rakyat Tunisia berhasil membuat presiden yang telah berkuasa selama 23 tahun, Zine Ben Ali, jatuh dan kabur keluar negeri pada 14 Januari.
Ketidakpuasan atas lambannya pemerintahan Mubarak mengatasi krisis ekonomi membuat sebagian kalangan di Mesir marah. Mereka juga tidak tahan ditekan rezim Mubarak, yang dianggap selalu bertindak sewenang-wenang dan otoriter.
Para demonstran kompak menyebut aksi Selasa kemarin sebagai hari “revolusi atas penyiksaan, kemiskinan, korupsi, dan pengangguran.” Belum ada kepastian apakah demonstrasi akan terus berlanjut. Tapi merujuk pada eskalasi kerusuhan di Tunisia, Kairo dan kota lainnya di Mesir terancam lebih “berdarah-darah”.
“Ini merupakan kali pertama saya ikut unjuk rasa. Kami sudah menjadi bangsa penakut, namun akhirnya kami berani mengatakan tidak,” kata Ismail Syed, seorang pekerja hotel yang hanya mendapat upah sekitar 50 dolar AS per bulan atau tidak sampai Rp 500 ribu.
“Kami ingin perubahan, sama seperti di Tunisia,” kata Lamia Rayan.
Sementara itu, pemerintah menyesalkan sikap anarkis para pengunjuk rasa sehingga terjadi bentrokan. “Ada yang sampai melempar batu ke polisi dan yang lainnya berbuat rusuh dan merusak properti negara,” demikian pernyataan Kementerian Dalam Negeri. Karena itulah, menurutnya, pemerintah harus mengambil tindakan keras.
Hampir setengah dari total populasi Mesir yang berjumlah 80 juta jiwa hidup di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan, yang menurut standar PBB adalah 2 dolar AS per hari. Meluasnya kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran dan inflasi harga pangan menjadi tantangan besar bagi rezim Mubarak.
Selain itu, Mesir juga mengalami ketegangan antara kaum Muslim dengan Kristen Koptik.
Mubarak telah memerintah Mesir sejak 1981 dan kini sudah berusia 82 tahun. Namun, dia belum menentukan sikap apakah akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk enam tahun berikut atau memilih pensiun.
Menyusul aksi demo yang melanda Mesir, putra Presiden Mesir Hosni Mubarak, Gamal Mubarak, pergi meninggalkan negeri itu beserta keluarganya. Gamal bersama istri dan anak perempuannya bertolak menuju London, Inggris.
Menurut situs berbahasa Arab yang berbasis di AS, Akhbar al-Arab, pesawat yang mengangkut Gamal dan keluarganya bertolak dari sebuah bandara di Kairo barat pada Selasa, 25 Januari waktu setempat. Demikian seperti dilansir media The Times of India, Rabu
0 comments:
Post a Comment